Senin, 15 November 2010

POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA ERA ORDE BARU

BAB I
PENDAHULUAN

Politik luar negeri Republik Indonesia merupakan suatu kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam hubungannya dengan dunia internasional. Kebijakan-kebijakan yang diamksud tentunya dalam upaya untuk perwujudan mencapaian tujuan nasional. Melalui politik luar negeri, pemerintah memproyeksikan kepentingan nasionalnya ke dalam masyarakat antar bangsa. Adapun tujuan politik luar negeri Republik Indonesia adalah untuk mewujudkan tujuan dan kepentingan nasional. Tujuan tersebut memuat gambaran mengenai keadaan negara dimasa mendatang serta kondisi masa depan yang diinginkan.
Proses pelaksanaan politik luar negeri Republik Indonesia tersebut diawali dengan penetapan kebijakan dan keputusan dengan mempertimbangkan beberapa hal yang didasarkan pada faktor-faktor nasional sebagai faktor internal, serta faktor-faktor internasional sebagai faktor eksternal.
Tulisan ini menitikberatkan pada  politik luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan Indonesia di Era Reformasi, dimulai dari Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarnoputri hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Seiring dengan perubahan periode pemerintahan yang juga membentuk politik luar negeri Indonesia, teknik dan metode diplomasi yang diterapkan juga berbeda. Dimulai dari close diplomacy hingga open diplomacy menuju total diplomacy.
Tulisan ini menyimpulkan bahwa sejak era reformasi dan globalisasi, diplomasi Indonesia memainkan peran yang esensial dan substansif dalam menghadapi tantangan di bidang sosial, ekonomi, politik yang mengancam kesatuan, integritas, dan kedaulatan Republik Indonesia.



BAB II
PEMBAHASAN

Politik luar negeri Indonesia berada dalam putaran yang sangat penting baik dari segi geopolitik dan geo-ekonomi: Dalam tataran internasional, kawasan Asia-pasifik, Asia Timur, Asia Selatan, ASEAN dan khususnya lingkungan domestik. Interaksi antar seluruh komponen geografis ini kemudian menjadi faktor utama pembentuk politik luar negeri Indonesia, khususny dalam tingkat domestik. Di awal abad 21 politik luar negeri Indonesia cenderung berubah sesuai dengan tuntutan dunia, ditambah situasi krisis ekonomi dan politik yang melanda Indonesia pertengahan tahun 1997, Referandum Timor-Timur tahun 1999 yang mengubah tataran sosial, ekonomi dan politik secara keseluruhan.
Akar permasalahan ini dapat dijelaskan dengan politik luar negeri Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh taraf internasional yang pada waktu itu yang kemudian diadopsi dalam tingkat politik domestik. Ada 3 hal yang patut dicermati dalam hal ini. Pertama, kebijakan luar negeri Indonesia dipengaruhi oleh peristiwa dan aktor dalam negeri. Politik luar negeri Indonesia mencerminkan keyakinan dan aksi dari pembuat kebijakan dalam institusi birokratis yang dipengaruhi oleh berbagai tingkatan dan berbagai cara, baik melalui masyarakat dan sistem internasional dimana dia beroperasi. Interaksi ini menghasilkan perubahan dan kesinambungan dalam politik luar negeri Indonesia. Dalam hal ini politik luar negeri mengacu pada cakupan dan sekumpulan tujuan, strategi, dan instrument yang sipilih oleh pembuat keputusan untuk menanggapi lingkungan internasional saat ini dan nanti.


Perubahan politik luar negeri, secara keseluruhan mengacu pada perubahan yang terjadi pada struktur, keyakinan, dan politik masyarakat dan negara dalam sebuah sistem yang dinamis atau dalam konteks internasional. Periode ketidakstabilan politis dan transisi akan menghasilkan sejumlah perubahan, yang terjadi secara alamiah ataupun dipengaruhi oleh waktu dan krisis yang terjadi (Broesamle, 1990: 460).
Di abad ke-21 Indonesia menghadapi tantangan dan peluang dalam Hubungan Internasional, baik bilateral maupun multilateral, dan Indonesia harus bisa menjawab tantangan tersebut. Indonesia berusaha meningkatkan politik luar negerinya baik dalam bentuk kerjasama bilateral dan multilateral dengan negara lain. Yang lebih penting adalah Indonesia harus mampu mengatur strategi untuk meraih keuntungan dari sejumlah peluang yang ada dan meminimalisir masalah yang terjadi dalam hubungan luar negerinya, serta berusaha meraihnya dalam nama kepentingan nasional.
Kedua, dalam era reformasi yang telah mengubah atmosfer politik Indonesia, politik luar negeri Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor domestik. Iklim politik menyusul kejatuhan Soeharto mempengaruhi proses kebijakan luar negeri dalam sejumlah cara: (i) hal itu membuka perhatian dan kritisme publik secara luas; (ii) meningkatkan jumlah dan ukuran aktor politik luar negeri; (iii) ekonomi dan politik domestik mempengaruhi skala prioritas dan implementasi mereka.
Ketiga, peran Indonesia dalam dunia internasional akan dibentuk oleh sejumlah ekonomi dan politik domestik yang juga dipengaruhi oleh tatanan internasional. Salah satu metode yang digunakan untuk mencapai kepentingan nasional itu adalah teknik diplomasi. Diplomasi adalah proses sementara politik luar negeri merupakan tujuan.



Seiring dengan perkembangan zaman ‘zeitgeist’, cakupan isu, aktor dan agenda diplomasi dalam hubungan internasional semakin kompleks dan berkembang. Diplomasi tradisional ‘first track diplomacy’ yang hanya melibatkan peran pemerintah dalam menjalankan misi diplomasi, tidak akan efektif dalam rangka menyampaikan pesan-pesan diplomasi terhadap suatu negara. Oleh karena itu, aktivitas diplomasi publik yang melibatkan peran serta publik sangat dibutuhkan dalam rangka melengkapi aktivitas diplomasi tradisional.
Close diplomacy ditinjau kembali penggunaannya di abad- 21 mengingat semakin kompleksnya isu dan cakupan masalah yang dihadapi oleh negara bangsa. Ide menuju open diplomacy dan total diplomacy menjadi alternatif yang digunakan untuk menjawab tantangan dan peluang dalam kerjasama bilateral dan multilateral yang menyokong politik luar negeri Indonesia saat ini.
Perubahan politik Luar negeri ini sejalan dengan perubahan bentuk diplomasi yang harus dipraktekkan, mengingat terjadi reformasi dan restrukturisasi dalam fondasi kebijakan luar negeri yang mempengaruhi pencapaian kepentingan nacional dalam taraf internasional saat ini.
Pergantian rezim Orde Baru mendorong penataan kembali politik luar negeri. Era reformasi diiringi dengan krisis finansial yang berimbas ke segala bidang. Selama krisis finansial yang diikuti dengan perubahan politik dan keamanan di dalam negeri, pengaruh Indonesia di ASEAN banyak terganggu. Tapi disadari hal itu jangan sampai mengecilkan peranan Indonesia dalam mengembangkan suatu ASEAN yang lebih tertib, kuat, dan maju.






A.    ANALISIS
1. Politik Luar Negeri Indonesia dari Masa ke Masa
Awalnya, kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia dimulai dari tingkat domestik. Politik luar negeri selalu dikaitkan dengan prioritas dan perkembangan politik domestik. Dengan kata lain, Politik Luar Negeri Indonesia merupakan sebuah refleksi, perpanjangan dan perluasan politik domestik.
Dimulai sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1945 hingga sat ini, ekonomi domestik menjadi stabilisator politik domestik juga, yang dipengaruhi oleh nasionalisme sebagai faktor dominan dalam menghitung perubahan dan keberlanjutan pembuat keputusan kebijakan luar negeri Indonesia. Nasionalisme tidak hanya menjadi semboyan pengikat multietnis di Indonesia akan tetapi sebagai simbol yang menjadi identitas bangsa dalam tataran dunia.
Di era Soekarno, konsep politik yang mengisyaratkan adanya politik bebas aktif mengemuka. Politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif menjadi sebuah fondasi atas hubungan bilateral dan multilateral Indonesia dengan negara-negara di dunia. Soekarno berusaha menjadi tokoh yang mengemuka dengan memperkenalkan Indonesia sebagai salah sate negara yang patut diperhitungkan dalam politik dunia melalui keikutsertaan Indonesia dalam sejumlah organisasi internasional seperti PBB.
Indonesia juga terlibat dalam sejumlah konferensi tingkat internasional yang membawa sebuah pengaruh bagi dunia, salah satunya menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika di tahun 1955. Muhammad Hatta selaku wakil presiden saat itu menilai politik luar negeri Indonesia ibarat mendayung diantara dua karang (rowing between two reefs) menyusul konflik Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur, saat itu konsep wawasan nusantara mulai mengemuka.

Era kepemimpinan Soeharto Indonesia masih menempatkan posisi politik luar negeri yang bebas aktif. Indonesia ikut dalam sejumlah organisasi, dalam taraf regional seperti ASEAN (1967), APEC (1989) dan terlibat dalam Gerakan Non-Blok, Deklarasi Juanda akhirnya berhasil memposisikan Indonesia sebagai negara kepulauan dengan UNCLOS  dan ZEE. Sedikit berbeda dengan Soekarno yang anti-barat, Soeharto mendekatkan diri dengan barat, sejumlah kebijakan dan perumusan politik dan ekonomi barat diterapkan di Indonesia akan tetapi dikendalikan secara sistem komando.
Ketika Rezim Soeharto jatuh sebagai hasil dari reformasi di Indonesia, Habibie menjadi presiden yang pada saat itu isu disintegrasi mewarnai politik domestik Indonesia, Indonesia mengalami krisis sistem diplomasi dengan keluarnya Timor-Timur dari pangkuan ibu pertiwi di tahun 1999, Indonesia menerima bantuan IMF pada masa ini.
Ketika Abdurahman Wahid menjadi presiden, situasi politik Indonesia masih memanas, gerakan separatis dan konflik etnis muncul. Hal ini mengakibatkan stabilitas domestic terganggu yang akhirnya secara sistematis akan berpengaruh pada pencitraan dunia internasional atas Indonesia, akan tetapi demokrasi sipil mulai diakui saat ini.
Saat Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai presiden, konflik etnis dan isu disintegrasi masih mengemuka, akan tetapi di era ini mulai diberlakukan otonomi daerah yang dianggap dapat menjawab ketidakseimbangan pusat dan daerah dengan sistem sentralisasi di masa pemerintahan sebelumnya. Megawati juga sebagai peletak dasar sistem demokrasi terbuka di tahun 2004.
Ketika Susilo Bambang Yudhoyono maju dan terpilih menjadi presiden, arah politik luar negeri Indonesia kembali dipetakan. Konsep politik luar negeri Indonesia bebas aktif kemudian diterjemahkan dalam beberapa poin:
(1) konstuktivisme pola pikir;
(2) tidak akan pernah tergabung dalam Pakta militer;
(3) konektivitas dengan dunia luar;
(4) project identitas Indonesia dalam dunia internasional seperti negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia, negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, negara dengan demokrasi terbesar ke-3 di dunia, dan sebuah negara dimana demokrasi, islam, dan modernitas dapat digabungkan;
(5) mencerminkan sebuah nasionalisme Indonesia yang sebenarnya yaitu terbuka, percaya diri, moderat, toleransi, dan berwawasan ke luar.
Di tengah arus globalisasi, interdependensi hingga persaingan yang semakin kuat SBY menyatakan jika Indonesia sedang berlayar dalam putaran arus samudera yang luas (Navigating in Turbulence Ocean).
Memasuki Orde Reformasi, terdapat perubahan fundamental dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Perubahan fundamental tersebut adalah perubahan pola perumusan kebijakan luar negeri dari executive heavy  kepada public heavy. Artinya jika pada dua rezim sebelumnya kebijakan luar negeri sangat dipengaruhi oleh pemimpin yaitu presiden, dengan berkembangnya proses demokratisasi di Indonesia, kebijakan luar negeri Indonesia tidak lagi didominasi oleh lembaga presiden namun terbukanya kesempatan kepada publik untuk ikut serta memberikan pendapat, baik melalui parlemen maupun melalui lembaga swadaya masyarakat.
Namun disisi lain, perubahan sistem politik kepada sistem yang demokratis ini tidak secara langsung memberikan dampak positif pada kebijakan luar negeri Indonesia. Dalam beberapa kasus, justru pada masa inilah terjadi beberapa kegagalan diplomasi Indonesia dalam dunia internasional seperti kegagalan diplomasi Indonesia dalam kasus Timor Timur dan Sipadan-Ligitan.
Selain itu masih terdapat banyak permasalahan luar negeri yang dihadapi oleh Indonesia yang pada dasarnya saat ini lebih bersifat low politic seperti perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) diluar negeri, perlindungan ekonomi nasional, profil atas masalah kemiskinan, perlindungan Hak Asasi manusia (HAM) dan kerjasama internasional.
Jika pada dua masa sebelumnya, permasalahan lebih banyak didominasi masalah inter-state relations dengan negara sebagai tolak ukurnya, memasuki masa reformasi keterlibatan nyata publik Indonesia juga akhirnya membawa pengaruh terhadap bidang permasalahan yang lebih mengarah kepada transnational problems yang banyak diwarnai dengan permasalahan pada level kelompok atau individu.
Perubahan politik diharapkan mampu memberikan perubahan yang nyata dalam penguatan kebijakan luar negeri Indonesia. Sehingga pada pemilu legislatif dan presiden di tahun 2009, membawa ekspektasi yang besar terhadap kebijakan luar negeri Indonesia selanjutnya.

2. Profil Kebijakan Luar Negeri Indonesia Masa Awal Reformasi (1999-2004)


Jika pada dua rezim, Orba dan Orla, kebijakan luar negeri Indonesia lebih kepada hard and low profile, kebijakan luar negeri Indonesia dalam masa reformasi ini (setidaknya pada masa-masa awal) lebih bersifat no profile. No profile disini lebih diartikan kepada pilihan kebijakan yang cenderung tidak jelas dan berubah-ubah terutama diambil pada masa-masa awal pemerintahan era reformasi.

Kebijakan luar negeri Indonesia pada awal reformasi ini sebenarnya lebih banyak ditujukan kepada perbaikan citra Indonesia kepada dunia Internasional yang terpuruk akibat krisis ekonomi dan politik didalam negeri. Indonesia yang sebelumnya dikenal sebagai negara dengan kondisi politik domestik yang paling stabil dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dikawasan Asia Tenggara, berubah drastis sejak krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997. Posisi pertumbuhan ekonomi Indonesia sempat pada posisi yang terendah hingga minus, sementara itu dibidang politik telah terjadi perubahan politik drastis yaitu runtuhnya rezim Orba setelah berkuasa selama 32 tahun.

Keberhasilan kebijakan luar negeri suatu negara dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, kapasitas diplomasi, yaitu berkaitan dengan kualitas diplomasi yang dilaksanakan. Kedua, berkaitan dengan kapasitas kekuatan dalam negeri (domestic power). Dalam hal ini, kondisi politik dan ekonomi Indonesia yang terpuruk akibat krisis ekonomi dan politik turut memberikan andil terhadap keberhasilan politik luar negeri Indonesia.

Pada masa pemerintahan transisi Habibie, kebijakan luar negeri Indonesia lebih mengarah kepada perbaikan citra Indonesia terutama dalam permasalahan HAM dengan kemudian mengambil kebijakan yang cukup berani dan kontroversial yaitu memberikan pilihan kemerdekaan kepada rakyat di Timor Timur yang memang pada akhir tahun 1990-an mulai dipermasalahkan oleh dunia internasional atas integrasinya ke wilayah Republik Indonesia pada tahun 1970-an.

Masih tetap fokus pada pemulihan citra Indonesia didunia internasional, Abdurrahman Wahid juga melakukan hal yang relatif sama dengan melakukan safari internasional untuk menjelaskan kondisi Indonesia kepada dunia internasional dengan tujuan mendapatkan kembali kepercayaan internasional terhadap postur politik dan ekonomi di Indonesia yang telah kembali stabil dan kondusif.

Namun hal ini jutsru menjadi bumerang di dalam negeri karena dirasa presiden terlalu sering meninggalkan urusan domestik. Selain itu gagasan berani dalam pemerintahan Wahid berkaitan dengan politik luar negeri Indonesia adalah munculnya gagasan untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel dengan alasan negara Islam seperti Mesir telah membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Tentu saja hal ini mendapatkan tentangan dari publik di Indonesia yang mayoritas muslim. Disisi lain juga sempat muncul gagasan untuk melakukan aliansi dengan pertahanan negara-negara Asia yang dimotori oleh China, India, Korea, Jepang dan Indonesia.


Memasuki masa Megawati, kebijakan luar negeri Indonesia masih melanjutkan usaha-usaha pendahulunya yaitu mencari dukungan dan kerjasama luar negeri.  Kebijakan yang menarik adalah dengan melakukan kerjasama dengan Rusia melalui pembelian pesawat Sukhoi. Kebijakan yang lain adalah pemutusan hubungan dengan International Monetary Fund (IMF).

Pada masa Megawati ini, politik luar negeri Indonesia kembali diuji dengan adanya Bom Bali yang kemudian membawa Indonesia kepada forum internasional terkait dengan permasalahan teorisme. Namun keberhasilan pada era Megawati ini adalah dengan gaya kepemimpinan yang memberikan porsi yang lebih luas kepada Departemen Luar Negeri dengan menitik beratkan pada peran utama Menteri Luar Negeri yang dipilih dari diplomat karir, bukan dari partai seperti pada masa Wahid.

Pada masa Megawati ini juga, Departemen Luar Negeri Indonesia melakukan reformasi dan restrukturisasi sebagai respon atas perubahan politik domestik dan tantangan global. Ditengah-tengah usaha untuk membangun kembali diplomasi Indonesia, kondisi domestik yang belum benar-benar pulih, pada masa ini pula terjadi kegagalan diplomasi Indonesia dalam mempertahankan Sipadan dan Ligitan.

Dari tiga pemerintahan pasca reformasi tahun 1998 terdapat beberapa kesimpulan atas kebijakan luar negeri yang diambil.
Pertama, kebijakan luar negeri lebih diarahkan kepada pembangunan kembali citra Indonesia yang terpuruk akibat krisis ekonomi moneter tahun 1997 dan krisis politik domestik sejak runtuhnya Orde Baru tahun 1998.

Kedua, karena arah kebijakan kepada perbaikan citra maka Indonesia berusaha untuk mencari partner di dunia internasional, sehingga terkesan pemimpin negara berputar-putar mencari teman, dan kadang justru tidak fokus.


Ketiga, beberapa kebijakan sebenarnya juga diarahkan pada pelepasan ketergantungan dengan Amerika Serikat, seperti pada masa Abdurrahman Wahid yang mencoba mendekatkan diri dengan China dalam konteks ekonomi dan juga pada Megawati yang mendekatkan diri dengan Rusia dalam konteks pertahanan.

Keempat, pemerintahan yang berlangsung relatif singkat (Habibie sebagai pemerintahan transisi sekitar 2 tahun, Abdurrahman Wahid juga sekitar 2 tahun dan Megawati sekitar 3 tahun) juga cukup memengaruhi optimalisasi pencapaian tujuan politik luar negeri Indonesia. Berdasarkan kebiasaan yang terjadi, perubahan pemerintahan akan membawa perubahan kebijakan.

Kelima, kurangnya koordinasi masing-masing elemen dalam pemerintahan. Reformasi yang membawa perubahan dalam pola pemerintahan Indonesia yang desentralisasi membawa dampak pada kurangnya koordinasi antar elemen dipemerintahan baik antar departemen maupun antara pemerintah pusat dengan daerah.

Beberapa kebijakan yang berkaitan dengan luar negeri dipahami berbeda oleh beberapa departemen terkait, misalnya antara Departemen Luar Negeri dengan Departemen Perdagangan dan Perindustrian kadang-kadang dalam masalah yang sama namun memiliki persepsi yang berbeda. Selain itu, munculnya otonomi daerah juga memunculkan pandangan baru bahwa daerah berhak melakukan hubungan dengan luar negeri yang seharusnya tetap berada dibawah koordinasi Departemen Luar Negeri. Permasalahan kelima ini terus berlanjut pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.




3. Politik Luar Negeri Indonesia Era Reformasi
Menegaskan kembali sikap bebas dan aktif dalam mengupayakan stabilitas kawasan dan perdamaian dunia berdasarkan prinsip kesetaraan, saling menghormati, saling menguntungkan, dan penghormatan terhadap martabat kemanusiaan. Menggalang solidaritas dunia demi mendukung bangsa-bangsa yang tertindas
dalam merebut kemerdekaannya.

Indonesia menganut prinsip politik luar negeri yang bebas dan aktif.
Prinsip tersebut dipahami sebagai sikap dasar RI yang menolak masuk dalam salah satu blok negara-negara adidaya; menentang pembangunan pangkalan militer asing di dalam negeri; serta menolak terlibat dalam pakta pertahanan negara-negara besar. Akan tetapi, RI tetap berusaha aktif terlibat dalam setiap upaya meredakan ketegangan di kancah internasional, seperti yang diamanatkan dalam pembukaan UUD.

Seiring perjalanan bangsa, khususnya pasca tumbangnya rezim otoriter Indonesia mencoba menata kembali kehidupan masyarakat dan sistem politik, khususnya politik luar negerinya. Berbagai upaya dilakukan untuk membangun kembali sistem ekonomi yang sempat terpuruk oleh krisis moneter pada akhir 1990an.

Prioritas utama yang dilaksanakan adalah perbaikan ekonomi. Program-program pembangunan ekonomi negara-negara berkembang seperti Milenium Development gools (MDG), merupakan gambaran orientasi politik luar negeri Indonesia yang sempat mencari bentuk pasca kejatuhan Soeharto. namun, dalam perjalananannya program MDG ini justru hanya menyentuh sebagian kecil masyarakat Indonesia yang hidup miskin.

Sebaliknya beberapa kelompok jetset kembali berjaya dengan semakin terbukanya modal asing untuk merambah dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat Indonesia, khsususya bidang ekonomi.  Banyak kekayaan alam Indonesia yang berdasarkan undang-undang pasal 33 adalah milik masyarakat dan dikelola pemerintah demi kepentingan masyarakat, justru dikuasai dan digunakan oleh para pemodal asing.

Indonesia semakin menjadi semakin ahistoris dengan kondisi masyarakat, khususnya nasion-nasion yang sekarang mulai melihat kembali indentitasnya sebagai anggota big nation Indonesia. Politik luar negeri yang pada awalnya ditujukkan untuk memaksimalkan kepentingan nasional masyarakat sendiri, justru hanya menjadi alat bagi korporasi internasional untuk memasukkan kepentingannya di bumi pertiwi ini.

Di tingkatan global, Indonesia juga semakin serius dalam mengusahakan perdamain dunia yang diwujudkan dalam kesepakatan internasional, seperti Protokol Kyoto, Penempatan pasukan perdamain di daerah konflik, sampai usaha penanganan terorisme internasional. Namun,  semua hal itu belum merefleksikan kondisi riil masyarakat Indonesia yang semakin hari, semakin tidak mandiri terhadap kedaulatan bangsa dan negaranya.

4. Peranan Politik Luar Negeri Masa Reformasi

Masa reformasi, peranan diplomasi Indonesia lebih memiliki nilai baru dibanding jaman orde baru karena tidak ada kendala psikologis dalam menjalin hubungan diplomatis dengan negara-negara barat yang lebih maju. Indonesia memiliki kesetaraan yang sama dalam menjalin hubungan diplomatiknya karena sudah bicara dalam kerangka bahasan yang sama, menjunjung tinggi demokrasi, penghormatan nilai-nilai HAM, pluralisme sehingga lebih nyaman berinteraksi dengan negara lain.  Kondisi tersebut membuat kepercayaan tinggi bagi bangsa Indonesia untuk lebih aktif untuk merintis kerjasama antarnegara.
Peluang Indonesia sebagai role model dalam diplomasi saat ini ditunjukkan dengan Indonesia memiliki peran sentral pada beberapa pertemuan antarnegara di tingkat regional, multilateral dan internasional, seperti memberikan sumbang saran dalam pertemuaan negara G-20 untuk membahas krisis keuangan global.
Selain itu, Indonesia menjadi satu-satunya negara berkembang di ASEAN yang diundang pada pertemuan negara-negara maju atau G-8 yang dijadikan ajang pertemuan tingkat dunia khusus para negara yang memiliki kekuatan ekonomi secara mapan.
Indonesia berusaha untuk kembali mengarahkan ASEAN, yang menjadi soko guru politik luar negeri, ke arah cita-cita yang telah dirintis oleh para pendirinya. Indonesia berusaha memelopori kerja sama ASEAN dari asosiasi ke arah komunitas, sebuah babak historis dalam perjalanan ASEAN.
Dalam pengembangan menuju integrasi ASEAN 2020, bertumpu pada tiga pilar Komunitas Keamanan ASEAN, Komunitas Sosial Budaya dan Komunitas Ekonomi. Selain itu, Indonesia juga menggagas Komunitas Keamanan ASEAN yang diharapkan dapat memampukan ASEAN menjawab tantangan-tantangan dalam dunia yang berubah.
Diharapkan pula, di tingkat domestik keberadaan komunitas ini dirasakan manfaatnya oleh rakyat di kawasan ASEAN sehingga kepemilikan ASEAN tidak lagi hanya dirasakan oleh pejabat pemerintah, tetapi diperluas menjangkau rakyat. Dengan demikian dapat memperkuat rasa kebersamaan atau we feeling antara anggota ASEAN. Selain itu, kerja sama ASEAN plus 3 (Cina, Jepang, dan Korea Selatan) semakin diintensifkan. Demikian pula untuk Komunitas Asia Timur.
Indonesia juga membangun struktur hubungan dengan negara tetangga di sebelah timur. Bersama Australia, Selandia Baru, Papua Nugini, Timor Leste, dan Filipina, Indonesia menjalin South West Pacific Dialogue.
Agenda lain dalam politik luar negeri pada era reformasi ini berkaitan dengan pemeliharaan persatuan dan kesatuan bangsa, pemulihan ekonomi dan penyelenggaraan politik luar negeri yang bebas dan aktif. Penggalangan dukungan komunitas internasional untuk mengakui keutuhan NKRI terus dilakukan. Walaupun sebagian besar negara termasuk AS, Uni Eropa dan Australia menolak pemisahan Aceh dan Papua dari RI, tetapi hal ini harus terus diwaspadai.
Kerja sama dengan negara-negara tetangga diintensifkan untuk mencegah kasus penyelundupan senjata, penyelundupan manusia dan barang untuk keperluan kelompok-kelompok separatis. Upaya Indonesia memainkan peran di kawasan juga tercermin dari penyelenggaraan 50 tahun Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika (KTT AA) dan Peringatan 50 Tahun KAA yang dihadiri oleh 104 negara.
Dalam tekad politik baru itu para pemimpin Asia dan Afrika menyatakan bahwa Kemitraan Strategis Baru Asia Afrika (The New Asian-African Strategic Partnership) menjadi kerangka kerja untuk membangun jembatan antara Asia dan Afrika.
Tiga bidang kerja sama yang akan digencarkan adalah solidaritas politik, kerja sama ekonomi, dan hubungan sosial budaya disusun. Sebagai tindak lanjut KTT akan diadakan KTT Asia Afrika setiap empat tahun sekali dan dua tahun sekali pertemuan tingkat menteri. Implementasi dari kerja sama ini yang masih menjadi pertanyaan.
Indonesia berupaya membangun citra dan menguatkan posisi diplomasi dalam taraf kerjasama multilateral, tergabung dalam beberapa organisasi internasional tingkat global seperti PBB dan regional seperti ASEAN. Indonesia membangun mutual trust antara negara anggota yang tergabung dalam satu wadah organisasi multilateral itu. Lalu bagaimana dengan kerjasama bilateral dan penguatan bargaining position Indonesia dengan negara lain? Pada praktiknya, interaksi bilateral Indonesia dengan sejumlah negara kunci itu masih jauh dari potensi yang tersedia. Tanpa sadar, Indonesia seperti terbawa pada arus kuat diplomasi multilateral, baik di ASEAN, APEC, maupun G-20, di mana Indonesia menjadi salah satu anggotanya. Arus kuat itu cenderung membawa Indonesia semakin jauh dari memanfaatkan kekuatan diplomasi bilateral.
Penguatan diplomasi bilateral antara Indonesia dan suatu negara memang memerlukan sebuah komitmen kuat yang didukung oleh kesiapan, kemauan, dan kemampuan berbagai unsur di dalam negeri. Apalah artinya sebuah komitmen peningkatan hubungan bilateral dibuat jika unsur-unsur di dalam negeri tidak bisa memenuhi komitmen-komitmen tersebut.


BAB III

KESIMPULAN

Indonesia menunjukkan perubahan yang mendasar dalam pola hubungan luar negerinya, baik daalam tipe kerjasama dan pola aktivitasnya. Perubahan tersebut berada dalam sektor geografis dan fungsional. Perubahan itu dilihat dalam kerjasama bilateral dan multilateralnya. Penguatan diplomasi Indonesia dalam dunia internasional menunjukkan sebuah perkembangan yang cukup signifikan di satu sisi, terutama dalam kerjasama multilateral, akan tetapi Indonesia masih lemah dalam kerjasama bilateral di sisi lain. Multipolarisme dan Diplomasi publik dapat menjadi sebuah pilihan strategis untuk menguatkan diplomasi bilateral Indonesia dalam mencapai kepentingan nasional sesuai dengan tujuan nasional yang terdapat dalam politik luar negeri Indonesia saat ini.
Seperti telah dipahami, pelaksanaan politik luar negeri tidak akan berarti apa-apa selama masalah di dalam negeri tidak diselesaikan.


Konsep Birokrasi

Konsep Birokrasi :
Birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat modern yang kehadirannya tak mungkin terelakkan. Eksistensi birokrasi ini sebagai konsekuensi logis dari tugas utama negara (pemerintahan) untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat (social welfare). Negara dituntut terlibat dalam memproduksi barang dan jasa yang diperlukan oleh rakyatnya (public goods and services) baik secara langsung maupun tidak. Bahkan dalam keadaan tertentu negara yang memutuskan apa yang terbaik bagi rakyatnya. Untuk itu negara mernbangun sistem administrasi yang bertujuan untuk melayani kepentingan rakyatnya yang disebut dengan istilah birokrasi.
Birokrasi bagi sebagian orang dimaknai sebagai prosedur yang berbelit-belit, menyulitkan dan menjengkelkan. Namun bagi sebagian yang lain birokrasi dipahami dari perspektif yang positif yakni sebagai upaya untuk mengatur dan mengendalikan perilaku masyarakat agar lebih tertib. Ketertiban yang dimaksud adalah ketertiban dalam hal mengelola berbagai sumber daya yang mendistribusikan sumber daya tersebut kepada setiap anggota masyarakat secara berkeadilan.
Pendapat yang berbeda di atas dapat dipahami dari perspektifnya masing-masing. Bagi yang berpandangan posisif terhadap birokrasi maka baginya birokrasi adalah sebuah keniscayaan. Akan tetapi bagi mereka yang berpandangan negatif maka birokrasi justru menjadi salah satu penghalang tercapainya tujuan sehingga keberadaan birokrasi harus dihilangkan.

Pengertian Birokrasi :
birokrasi adalah sebagai alat organisasi, di mana ia meupakan suatu otorita yang ditetapkan secara rasional oleh berbagai peraturan. Birokrasi seringkali dimaksudkan sebagai upaya untuk mengorganisasi secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang.

Konsep Birokrasi menurut Pendapat Ahli
1.      Karl Marx
Birokrasi adalah Organisasi yang bersifat Parasitik dan Eksploitatif. Birokrasi merupakan Instrumen bagi kelas yang berkuasa untuk mengekploitasi kelas sosial yang lain (yang dikuasai). Birokrasi berfungsi untuk mempertahankan privilage danstatus quo bagi kepentingan kelas kapitalis. Dalam pandangan Marx yang berbeda dengan Hegel, birokrasi merupakan sistem yang diciptakan oleh kalangan atas (the have) untuk memperdayai kalangan bawah (the have not) demi mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Dalam hal ini birokrasi menjadi kambing hitam bagi kesalahan penguasa terhadap rakyatnya. Segenap kesalahan penguasa akhirnya tertumpu pada birokrasi yang sebenarnya hanya menjadi alat saja.

2.      Blau dan Meyer
Birokrasi adalah sesuatu yang penuh dengan kekakuan (inflexibility) dan kemandegan struktural (structural static), tata cara yang berlebihan (ritualism) dan penyimpangan sasaran (pervesion goals), sifat pengabaian (alienation) serta otomatis (automatism) dan menutup diri terhadap perbedaan pendapat (constrain of dissent). Dengan demikian Blau dan Meyer melihat bahwa birokrasi adalah sesuatu yang negatif yang hanya akan menjadi masalah bagi masyarakat.

3.      Max Weber
Weber menulis banyak sekali tentang kedudukan pejabat dalam masyarakat modern. Baginya kedudukan pejabat merupakan tipe penanan sosial yang makin penting. Ciri-ciri yang berbeda dari peranan ini ialah: pertama, seseorang memiliki tugas-tugas khusus untuk dilakukan. Kedua, bahwa fasilitas dan sumber-sumber yang diperlukan untuk memenuhi tugas-tugas itu diberikan oleh orang orang lain, bukan oleh pemegang peranan itu. Dalam hal ini, pejabat memiki posisi yang sama dengan pekerja pabrik, sedang Weber secara modern mengartikannya sebagai individu dari alat-alat produksi. Tetapi pejabat memiliki ciri yang membedakannya dengan pekerja: ia memiliki otoritas. Karena pejabat memiliki otoritas dan pada saat yang sama inilah sumbangannya, ia berlaku hampir tanpa penjelasan bahwa suatu jabatan tercakup dalam administrasi (setiap bentuk otoritas mengekspresikan dirinya sendiri dan fungsinya sebagai administrasi). Bagi Weber membicarakan pejabat-pejabat administrasi adalah bertele-tele. Meskipun demikian konsep tersebut muncul pertama kalinya. Perwira Tentara, Pendeta, Manajer Pabrik semuanya adalah pejabat yang menghabiskan waktunya untuk menginterpretasikan dan memindahkan instruksi tertulis. Ciri pokok pejabat birokrasi adalah orang yang diangkat, bukan dipilih. Dengan menyatakan hal ini Weber telah hampir sampai pada definisi umumnya yang dikenakan terhadap birokrasi. Weber memandang Birokrasi sebagai birokrasi rasional atau ideal sebagai unsur pokok dalam rasionalisasi dunia modern, yang baginya jauh lebih penting dari seluruh proses sosial (Sarundajang, 2003).
4.      Farel Heady (1989):
Birokrasi adalah struktur tertentu yang memiliki karakteristik tertentu: hierarki, diferensiasi dan kualifikasi atau kompetensi. Hierarkhi bekaitan dengan struktur jabatan yang mengakibatkan perbedaan tugas dan wewenang antar anggota organisasi. Diferensisasi yang dimaksud adalah perbedaan tugas dan wewenang antar anggota organisasi birokrasi dalam mencapai tujuan. Sedangkan kualifikasi atau kompetensi maksudnya adalah seorang birokrat hendaknya orang yang memiliki kualifikasi atau kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya secara profesional. Dalam hal ini seorang birokrat bukanlah orang yang tidak tahu menahu tentang tugas dan wewenangnya, melainkan orang yang sangat profesional dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tersebut.
5.      Hegel:
Birokrasi adalah institusi yang menduduki posisi organiik yang netral di dalam struktur sosial dan berfungsi sebagai penghubung antara negara yang memanifestasikan kepentingan umum, dan masyarakat sipil yang mewakili kepentingan khusus dalam masyarakat. Hegel melihat, bahwa birokrasi merupakan jembatan yang dibuat untuk menghubungkan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan negara yang dalam saat-saat tertentu berbeda. Oleh sebab itu peran birokrasi menjadi sangat strategis dalam rangka menyatukan persepsi dan perspektif antara negara (pemerintah) dan masyarakat sehingga tidak terjadi kekacauan.